Fiki Yuandana
Tulisan ini akan mengulas tentang
fenomena kehidupan yang sering terlihat disekeliling kita. Sebuah realita yang
sungguh ironis dan terjadi di atas tanah pertiwi. Kehidupan yang berkaitan
dengan masa depan jutaan rakyat kecil menuju kehidupan yang lebih sejahtera. Semenjak
berhembusnya angin reformasi, nasib rakyat kecil kian tak lagi menjadi pokok
perhatian. Resep reformasi pun seperti tak manjur lagi mengubah keadaan
perekonomian rakyat. Dari persoalan itulah muncul berbagai fenomena kehidupan
dimasyarakat seperti menjalarnya kemiskinan, terjadinya kesenjangan sosial, dan
sebagainya. Sebuah latar yang sudah menjadi pemandangan yang lumrah di
negeri yang indah ini. Lakon pemerintah
sebagai alat kontrol utama dalam mengentaskan kemiskinan masih belum terasa dan
terlalu sibuk memikirkan hal-hal sepele yang seharusnya tidak perlu
dipermasalahkan. Padahal realitanya banyak rakyat yang masih ‘sakit’, sakit
akan perlakuan pemerintah, sakit akan perlakuan negara yang seakan menenggelamkan mereka ke dalam jurang kepelikan. Di tanah ini masih
banyak orang-orang yang tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Masih banyak yang kesusahan, susah mencari makan, susah mencari nafkah untuk menghidupi
kebutuhan keluarga bahkan banyak yang tidak memiliki tempat tinggal. Jangan
heran jika banyak bilik-bilik kumuh dibalik rumah-rumah dan gedung-gedung mewah
yang berdiri. Sering kita lihat seseorang menggelandang bahkan hingga tidur di
tepi jalan, di teras-teras toko, di
bawah traffic lights (lampu merah),
di kolong-kolong jembatan hanya beralaskan tanah dan beratapkan langit.
Teriknya mentari dan dinginnya angin malam seakan sudah menjadi teman yang
setia menemani. Jika hal tersebut dibandingkan dengan keadaan para elite yang
biasa bergaya hidup mewah, sangat jauh dari kesan sejahtera dan nyaman. Kita
juga sering melihat seseorang yang berjalan tertatih dengan raut wajah yang
sedih, seorang tua yang mengenakan pakaian kotor bahkan hingga robek. Bukan
karena malas mencuci atau tak mau mengganti, tetapi itulah harta satu-satunya
yang mereka miliki. Untuk mencari sesuap nasi saja, mereka harus kerja banting
tulang. Itu pun belum tentu pekerjaan yang mereka lakoni bisa membuahkan hasil.
Belum lagi memikirkan apakah mereka masih bisa bertahan hidup untuk esok hari,
lusa, dan seterusnya.
Kuli pasar, pemulung, pengamen jalanan,
pedagang gerobak keliling, dan pekerjaan kasar lainnya mungkin masih layak untuk dipandang.
Bagaimana dengan meminta-minta? Apakah itu layak untuk menjadi pemandangan di
negara yang kaya ini? Tentu sangat tidak. Dengan wajah yang muram mereka
mengangkat tangan, meminta belas kasih para dermawan agar bisa merasakan nikmatnya
sesuap nasi dan seteguk air. Walau pun begitu banyak juga dari mereka yang
tetap berusaha dan bekerja keras mencari pekerjaan yang layak. Masalah upah itu
hal yang kedua bagi mereka, yang penting bisa mengisi perut yang keroncongan.
Begitu luar biasanya semangat hidup para pencari kesejahteraan ini, mereka terus berjuang dan bertahan hidup
dengan pekerjaan seadanya dan upah yang tak seberapa. Tentu upah mereka tak sepadan
jika dibandingkan dengan uang sekandal hasil korupsi yang banyak dilakukan oleh
pejabat-pejabat di negeri ini. Tidak sedikit juga dari mereka yang mencari
nafkah dengan cara yang haram seperti mencopet, maling, dsb. Saya kira, yang
menjadi benang merahnya bukan karena adanya niat ataupun kesempatan untuk
melakukan tindakan tak terpuji seperti itu, akan tetapi lebih ke faktor ekonomi/dorongan
hidup yang memaksa mereka melakukan hal tersebut sehingga mau tidak mau harus
mencari jalan pintas untuk bisa menghidupi diri sendiri dan keluarga.
Parahnya, kepelikan hidup yang melanda
mereka berimbas pada tumbuh kembang anak-anak, terutama buah hati yang mereka
miliki. Sehingga banyak anak-anak yang mendadak menjadi ‘pekerja paksa’ dan
tidak bisa merasakan nikmatnya bangku pendidikan. Keberadaan anak-anak di
jalanan seperti fenomena yang sudah sangat lumrah bahkan membudaya di negara
ini, terutama di kota-kota besar. Sering kita lihat anak-anak yang berkeliaran
di bawah lampu apill, duduk di tepi jalan sambil menunggu para pengendara
berhenti di garis marka dan beraksi untuk meminta simpati dari para pengendara.
Anak-anak yang seharusnya mendapat kasih sayang dan perhatian penuh dari orang
tua, tidak bisa lagi merasakan apa yang dirasakan seperti halnya anak-anak lain
seusia mereka. Tidak sedikit juga dari
mereka yang tak memiliki orang tua bahkan tak tahu kepada siapa akan mengaduh
nasib. Anak-anak terlantar yang notabenenya ‘peliharaan’ negara seharusnya
diberi perhatian penuh oleh Pemerintah maupun badan pemerintah yang
berkewajiban mengurusinya. Sebagai generasi penerus bangsa tentu tak pantas
rasanya jika Pemerintah hanya sekedar memelihara mereka saja tetapi harus
ditanggung segala kebutuhan hidup yang mereka butuhkan, mulai dari kebutuhan
pokok sehari-hari hingga mendapatkan pendidikan yang layak. Akan tetapi pada
realitanya, para fakir, miskin, dan anak-anak teralantar seperti tak pernah diindahkan
oleh negara. Keberadaan UUD 1945 pun sepertinya menjadi petuah kuno yang
dianggap sampah.
Sudah seharusnya
permasalahan-permasalahan tersebut menjadi bahan kontemplasi dan refleksi bagi penguasa negeri ini agar mata hati lebih berempati. Dimana di tangan penguasa lah jutaan rakyat menggantungkan harpannya. Maka dari itu, Paduka Yang Mulia hendaklah tegas
dan bijaksana dalam bertindak. Jangan menjadi Satrio Piningit yang memimpin
karena merasa punya wangsit. Dan jangan pula menjadi Begawan yang hanya tinggal
di istana megah atas awan. Jadilah komandan untuk Republik yang memegang amanat
dan mengurus 200 juta rakyat yang maha pelik.
Pasal
27 ayat 2 UUD 1945 :
“Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Pasal
34 ayat 1 UUD 1945 :
“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara
oleh negara.”
Begitulah
hikayat nusantara. Indonesia
Raya.
Tags:
Pengetahuan Umum
Sangat benar sobat. Masih ada yang lebih parah, yaitu orang-orang yang bekerja di perusahaan asing dengan tujuan hidup nikmat untuk diri mereka sendiri dan tidak peduli dengan rakyat miskin. Saya lebih tidak menyukai orang tipe ini daripada pemerintah....
Begitulah kelakuan sebagian bangsa kita. Kurang mensykuri nikmat Tuhan. Tidak ingat bahwa hidup itu juga untuk berbagi