Jejak Tiga Budaya di Kaki Rinjani

Sejarah Pulau Lombok

Menurut isi Babad Lombok, kerajaan tertua yang pernah berkuasa di pulau ini bernama Kerajaan Laeq (dalam bahasa sasak laeq berarti waktu lampau), namun sumber lain yakni Babad Suwung, menyatakan bahwa kerajaan tertua yang ada di Lombok adalah Kerajaan Suwung yang dibangun dan dipimpin oleh Raja Betara Indera. Kerajaan Suwung kemudian surut dan digantikan oleh Kerajaan Lombok. Pada abad ke-9 hingga abad ke-11 berdiri Kerajaan Sasak yang kemudian dikalahkan oleh salah satu kerajaan yang berasal dari Bali pada masa itu. Beberapa kerajaan lain yang pernah berdiri di pulau Lombok antara lain Pejanggik, Langko, Bayan, Sokong Samarkaton dan Selaparang.

Kerajaan Selaparang sendiri muncul pada dua periode yakni pada abad ke-13 dan abad ke-16. Kerajaan Selaparang pertama adalah kerajaan Hindu dan kekuasaannya berakhir dengan kedatangan ekspedisi Kerajaan Majapahit pada tahun 1357. Kerajaan Selaparang kedua adalah kerajaan Islam dan kekuasaannya berakhir pada tahun 1744 setelah ditaklukkan oleh gabungan pasukan Kerajaan Karangasem dari Bali dan Arya Banjar Getas yang merupakan keluarga kerajaan yang berkhianat terhadap Selaparang karena permasalahan dengan raja Selaparang. [2]. Pendudukan Bali ini memunculkan pengaruh kultur Bali yang kuat di sisi barat Lombok, seperti pada tarian serta peninggalan bangunan (misalnya Istana Cakranegara di Ampenan). Baru pada tahun 1894 Lombok terbebas dari pengaruh Karangasem akibat campur tangan Batavia (Hindia Belanda) yang masuk karena pemberontakan orang Sasak mengundang mereka datang. Namun demikian, Lombok kemudian berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda secara langsung.

Masuknya Jepang (1942) membuat otomatis Lombok berada di bawah kendali pemerintah pendudukan Jepang wilayah timur. Seusai Perang Dunia II Lombok sempat berada di bawah Negara Indonesia Timur, sebelum kemudian pada tahun 1950 bergabung dengan Republik Indonesia. (Sumber: http://siswa.univpancasila.ac.id)

Jejak Tiga Budaya di Kaki Rinjani

Bumi di kaki Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Beberapa puluh keluarga yang tinggal di dalamnya menjadi bukti rekam jejak zaman perkembangan kebudayaan di pulau ini. Suku sasak, bayan, keluraga ini menyebut dirinya.

Sebuah versi menyebut, sekitar abad 14 ketika Kerajaan Majapahit di Tanah Jawa melebarkan ekspansi kekuasaan. Pulau lombok menjadi salah satu daerah kekuasaannya.


Kitab Negarakretagama yang memuat tetang kekuasaan dan pemerintahan Majapahit menjadi buktinya. Dalam kitab ini, Lombok dituliskan dengan Lombok Mirah Sasak Adi yang berarti kejujuran adalah permata kenytaan yang baik atau utama. Akibatnya, Hindu sebagai agama mayoritas di Kerajaan Majapahit juga menyebar di kawasan ini. Bahkan, cara berpakaian kerajaan-kerajaan di Jawa juga memengaruhi gaya suku ini.

Kejayaan Majapahit di pulau ini tidak berlangsung lama. Abad 16, Islam mulai masuk ke Tanah Lombok. Dibawa Sunan Giri, salah satu tokoh Walisongo dari Tanah Jawa. Tak hanya dari Walisongo, namun juga para pedagang dari Makasar. Tentu saja kebudayaan dan keyakinan Hindu pelan-pelan bergerak berganti dengan Islam.

Di abad 18, kebudayaan Lombok kembali menerima pengaruh dari luar. Kerajaan Gel-Gel Bali menaklukan Lombok. Dan Hindu Bali memengaruhi kehidupan kawasan ini.

15 Rabiul Awal 1433 hijriah jatuh di Desa Karang Bajo Bayan. Iini berarti Suku Sasak Bayan segera melaksanakan kewajiban adat. Maulid Adat atau Maulid Nabi Muhammad SAW. Dan gong yang dianggap masyarakat sebagai benda keramat harus keluar untuk membuka tradisi.

Berbagai bahan makanan dikumpulkan. Bahkan, ada yang membawa hewan ternak untuk disembelih. Kerbau bukan sapi, tentu ini urusan toleransi. Sebab, sapi dianggap hewan suci bagi pemeluk Hindu. Momentum ini adalah saat yang ditunggu oleh beberapa warga yang ingin bersyukur karena harapannya terkabul. Sartinep, misalnya. Harapannya menjual tanah warisan telah terkabul.

Menoreh sembe yang terbuat dari sirih, pinang, dan kapur di kening tak lebih hanya penanda selamat datang. Agar seluruh prosesi ritual dapat berjalan lancar.

Masjid Tua Bayan. Sebuah bangunan tua yang dianggap sebagai tempat penting dalam prosesi ini. Cerita menyebut masjid ini dibangun bersamaan dengan datangnya Sunan Giri dari Jawa sekitar abad 16. Bahkan, mimbar dan bedug pun masih lengkap.

Meski berlantai tanah, siapapun yang masuk harus mencuci kaki terlebih dahulu sebagai wujud penyucian diri. Bahkan, kusen pintu dibuat pendek agar orang merendahkan diri saat memasuki masjid. Di luar masjid, lelaki-lelaki Sasak tangguh siap beradu nyali. Perisaian. Tarung dengan rotan dan tameng kulit kerbau.

Malam semakin larut, purnama kian memencarkan sinarnya. Rotan dan tameng terus ditawarkan pada para jagoan bernyali. Sebagian percaya gerakan dan pukulan pada tarung ini akan mengusir penyakit dari tubuh.

Ardi yang dari tadi menolak tawaran tiba-tiba berubah pikiran. Ia mengambil rotan dan tameng. Ardi begitu bangga, walau istri menerima keputusannya dengan ketakutan. Darah mulai mengucur. Ini pertanda rezeki juga akan menyertai hidupnya.

Lepas waktu Asar, masuk prosesi praja mulud dengan merias dua pasangan pengantin yang sejatinya diperankan oleh para lelaki. Rombongan membawa minyak blonyo, minyak yang dipercaya setelah didoakan di Masjid Tua Bayan akan membawa berkah pemakainya.

Gruga agung. Untuk masuk ke situ orang harus berwudu untuk menjaga kesucian tempat tersebut. Usai sudah semua prosesi Maulid Adat. Semua makanan yang sejak awal telah diolah dan didoakan, kini saatnya makan bersama.

Sumber : liputan6.com
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Leave a comment